Lebih Cerdas Daripada Yang Diduga
TAHU tidak? Anak kita itu lebih cerdas daripada yang kamu duga!. Cerdas itu lebih dari sekedar meraih peringkat yang baik serta nilai ujian yang baik di sekolah. Cerdas itu lebih dari sekedar pandai membaca, cepat memecahkan soal matematika dan menghafal.
Cerdas itu lebih dari sekedar mempunyai Intellingence Quotient (IQ) tinggi. Psikolog (baca; sikolog) bernama Dr. Howard Gardner memelajari bagaimana anak-anak serta orang dewasa belajar. Ia menemukan ternyata ada berbagai indikator kecerdasan. Umpamanya, kamu bisa Cerdas dalam musik, bisa Cerdas Memahami Sesama dan bahkan bisa Cerdas Memahami Alam. Teori itu disebut oleh Dr. Howard Gardner sebagai Teori Multipel Intelijensi.
Dua pragraf di atas dituangkan Interaksara mengakhiri kupasan buku 'Kamu itu Lebih Cerdas daripada yang Kamu Duga' yang ditulis oleh Thomas Armstrong, Ph. D dengan judul buku aslinya 'You're Smarter Than You Think'. Dengan teori ini Gardner mulai mengubah bagaimana para guru mengajar di sekolah-sekolah di seluruh dunia.
Dr. Howard Gardner menemukan paling tidak 9 (sembilan) macam kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan musik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan ruang, kecerdasan tubuh-kinestetik, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi, kecerdasan naturalis dan eksistensial (Armstrong, 2004).
Mencoba menarik benang merah (baca; merefleksikan) tiga paragraf di atas, beberapa pertanyaan muncul dalam benak penulis. Apakah kita masih berpegang teguh bahwa hanya dengan mengandalkan satu macam kecerdasan saja kita akan sukses dalam pertarungan hidup ini? Apakah orang tua akan marah kalau anaknya yang rajin belajar lalu ditambahnya rajin berolahraga atau bernyanyi/latihan band? Apakah sekolah perlu mengembangkan pendidikan yang membelajarkan sembilan macam kecerdasan tersebut? Bagaimana sikap kita, terlebih sebagai pendidik, terhadap kenyataan bahwa ternyata kecerdasan bukan hanya logis-matematis dan bahasa? Apakah perlu kita mengembangkan kecerdasan lain di luar kecerdasan logis-matematis dan bahasa?
Ada banyak orang yang beranggapan bahwa mengetahui IQ melalui tes IQ merupakan cara yang terbaik untuk menakar kecerdasan seseorang. Tes IQ untuk menentukan tingkat kecerdasan seseorang telah digunakan paling tidak selama 100 tahun terakhir. Yang dilakukan saat tes IQ yaitu memecahkan soal-soal matematika, mendefinisikan kata-kata, menciptakan rancangan-rancangan, mengulang angka-angka dalam ingatan dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya.
Padahal, tes IQ tidak sesempurna orang yang di tes IQ tersebut. Mengapa? Karena 1) banyak sekali kecerdasan yang belum dikenali oleh tes IQ, 2) tes IQ tidak dapat meramalkan apa pekerjaan yang cocok setelah besar nanti, 3) tes IQ tidak dapat meramalkan ketercapaian cita-cita, 4) tes IQ hanya memerhatikan bagian besar dari kepandaian bidang kata-kata atau angka-angka dan 5) tes IQ mengabaikan kecerdasan lainnya, seperti musik, seni, alam, eksistensi dan hubungan antarsesama.
Menyikapi fakta bahwa terdapat berbagai macam kecerdasan tersebut, maka sekolah sebenarnya telah menjangkau hal ini, buktinya bahwa terdapat beragam pelajaran yang disuguhkan untuk murid. Paul Suparno dalam bukunya "Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah", menyebutkan bahwa untuk mengajarkan kecerdaan bahasa terdapat pada Bahasa, IPS, Sejarah, Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Untuk membelajar Matematis-Logis terdapat pada Matematika, IPA dan Ekonomi. Membelajarkan murid akan kecerdasan ruang ada pelajaran menggambar. Untuk meninggikan kecerdasan tubuh-kinestetis pada pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Meninggikan kecerdasan musikal murid ada Seni Budaya. Untuk mengasah kecerdasan lingkungan terdapat mata pelajaran Biologi. Untuk menajamkan kecerdasan intrapribadi, interpribadi dan eksistensial terdapat pengembangan diri. Jadi, sebenarnya sekolah formal sudah melaksanakan pembelajaran multiple intelijensi ini.
Permasalahan yang terjadi adalah kadang kita kurang menyadari hal ini. Menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika dan IPA yang lebih penting, tinibang pelajaran di luar itu. Mengapa? Ada banyak alasan, misalnya untuk menyiapkan murid menghadapi ujian nasional. Akhirnya, anak yang tadinya mencintai pelajaran olahraga (karena cita-citanya ingin menjadi atlet) atau yang suka latihan band/suka karaokean di rumah disela-sela kerajinannya belajar, eh malah dimarahi/diomelin oleh orang tuanya.
"Ngapain lu suka latihan band/karaokean atau sering latihan basket/voli/olahraga lainnya, kan itu tidak menjamin masa depanmu, mendingan kamu les bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika atau Ekonomi". "Gih pergi les, cepat-cepat!!!". "Ngapain sih piano, gitar, nyanyi pake les segala?". "Ndak ada gunanya tu". Pelajaran itu kan tidak di-UN-kan!. "Ntar tidak lulus ujian ibu/bapak yang malu". Itulah sederetan celotehan ibu/bapak melihat anaknya tidak mau pergi les. Celoteh ibu/bapak tersebut mencerminkan terjadinya paradoks terhadap kecerdasan anak (murid).
Hemat penulis, sikap kita sebagai orang tua, yaitu memberikan bimbingan yang toleran terhadap anak, biarkan dia berkembang dengan bakat/talentanya. Tugas orang tua adalah memberikan arahan, pertimbangan baik/buruk suatu kegiatan dan memberikan peringatan jika si anak sudah berada di luar jalur 'rel' sesungguhnya.
Lalu, tugas guru di sekolah, yaitu guru/staff dan yang lainnya, berikanlah pengertian yang cukup, penjelasan yang maksimal dan dampingan intensif kepada muridnya. Ingatkan bahwa manusia itu unik yang memiliki banyak kecerdasan. Murid sebenarnya dapat mempelajari semua pelajaran dengan baik. Cuman, caranya yang perlu dikatahui. Sudah selayaknya sekolah membimbing murid mengenai bagaimana mempelajari sesuatu. Guru dapat meracik pembelajaran yang menyentuh kedirian setiap murid dan menjangkau semua kecerdasan dominan, agar setiap potensi kecerdasan ditinggikan semuanya. Sadarkan murid bahwa tidak ada satupun orang/murid/anak yang bodoh alias semuanya cerdas.
Libatkan mereka dalam pembelajaran (gunakan aroma pembelajaran konstruktivisme), gali sebanyak mungkin informasi dari murid, gunakan mereka sebagai sumber belajar, jadikan murid sebagai 'guru' bagi murid yang lainnya, sehingga kita mempertegas peran kita adalah sebagai guru (master) sekaligus fasilitator dan mediator pembelajaran. Guru di kelas diharapkan dapat menciptakan suasanan pembelajaran yang menyenangkan, inpiratif, inovatif, komunikatif dan memberdayakan murid. Angkat setinggi-tingginya kecerdasan majemuk murid agar mereka sanggup menyongsong tantangan (misalnya Ulangan, Ujian Sekolah/Nasional) kini, esok maupun kelak ketika mereka sudah berada di masyarakat.
Akhirnya, untuk menjangkau semua itu, penulis kira perlu dibangun sebuah networking (arti; jejaring) antarstakeholders pendidian, bangun komunikasi yang inten, terus-menerus. Guru di sekolah perlu dukungan orang tua. Mari membangun sebuah network pendidikan baik komunikasi antara guru-murid-orang tua, sehingga murid juga merasa didukung sepenuhnya oleh semua orang. Itu semua bermuara pada dtinggikannya, ditingkatkannya, dinaikkan setinggi-tingginya kecerdasan setiap anak (murid).
Sumber: http://www.mail-archive.com/ mediacare@yahoogroups.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar