24 TIPS FOR A BETTER LIFE
1. Take a 10-30 minute walk every day. & while you walk, SMILE. It is the ultimate anti-depressant.
2. Sit in silence for at least 10 minutes each day.
3. When you wake up in the morning complete the following statement, 'My purpose is to __________ today.'
4. Eat more foods that grow on trees and plants and eat less food that is manufactured in plants.
5. Drink green tea and plenty of water. Eat blueberries, wild Alaskan salmon, broccoli, and almonds.
6. Try to make at least three people smile each day.
7. Don't waste your precious energy on gossip, energy vampires, issues of the past, negative thoughts or things you cannot control. Instead invest your energy in the positive present moment.
8. Eat breakfast like a king, lunch like a prince and dinner like a college kid with a maxed out charge card.
9. Life isn't fair, but it's still good.
10. Life is too short to waste time hating anyone.
11. Don't take yourself so seriously. No one else does.
12. You don't have to win every argument. Agree to disagree.
13. Make peace with your past so it won't spoil the present.
14. Don't compare your life to others. You have no idea what their journey is all about.
15. No one is in charge of your happiness except you.
16. Frame every so-called disaster with these words: 'In five years, will this matter?'
17. Forgive everyone for everything.
18. What other people think of you is none of your business.
19. Time heals everything.
20. However good or bad a situation is, it will change.
21. Your job won't take care of you when you are sick. Your friends will. Stay in touch.
22. Envy is a waste of time. You already have all you need.
23. Each night before you go to bed complete the following statements: I am thankful for __________. Today I accomplished _________.
24. Remember that you are too blessed to be stressed.
Kamis, 25 Februari 2010
Selasa, 02 Februari 2010
Lebih Cerdas Daripada yang Diduga
Lebih Cerdas Daripada Yang Diduga
TAHU tidak? Anak kita itu lebih cerdas daripada yang kamu duga!. Cerdas itu lebih dari sekedar meraih peringkat yang baik serta nilai ujian yang baik di sekolah. Cerdas itu lebih dari sekedar pandai membaca, cepat memecahkan soal matematika dan menghafal.
Cerdas itu lebih dari sekedar mempunyai Intellingence Quotient (IQ) tinggi. Psikolog (baca; sikolog) bernama Dr. Howard Gardner memelajari bagaimana anak-anak serta orang dewasa belajar. Ia menemukan ternyata ada berbagai indikator kecerdasan. Umpamanya, kamu bisa Cerdas dalam musik, bisa Cerdas Memahami Sesama dan bahkan bisa Cerdas Memahami Alam. Teori itu disebut oleh Dr. Howard Gardner sebagai Teori Multipel Intelijensi.
Dua pragraf di atas dituangkan Interaksara mengakhiri kupasan buku 'Kamu itu Lebih Cerdas daripada yang Kamu Duga' yang ditulis oleh Thomas Armstrong, Ph. D dengan judul buku aslinya 'You're Smarter Than You Think'. Dengan teori ini Gardner mulai mengubah bagaimana para guru mengajar di sekolah-sekolah di seluruh dunia.
Dr. Howard Gardner menemukan paling tidak 9 (sembilan) macam kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan musik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan ruang, kecerdasan tubuh-kinestetik, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi, kecerdasan naturalis dan eksistensial (Armstrong, 2004).
Mencoba menarik benang merah (baca; merefleksikan) tiga paragraf di atas, beberapa pertanyaan muncul dalam benak penulis. Apakah kita masih berpegang teguh bahwa hanya dengan mengandalkan satu macam kecerdasan saja kita akan sukses dalam pertarungan hidup ini? Apakah orang tua akan marah kalau anaknya yang rajin belajar lalu ditambahnya rajin berolahraga atau bernyanyi/latihan band? Apakah sekolah perlu mengembangkan pendidikan yang membelajarkan sembilan macam kecerdasan tersebut? Bagaimana sikap kita, terlebih sebagai pendidik, terhadap kenyataan bahwa ternyata kecerdasan bukan hanya logis-matematis dan bahasa? Apakah perlu kita mengembangkan kecerdasan lain di luar kecerdasan logis-matematis dan bahasa?
Ada banyak orang yang beranggapan bahwa mengetahui IQ melalui tes IQ merupakan cara yang terbaik untuk menakar kecerdasan seseorang. Tes IQ untuk menentukan tingkat kecerdasan seseorang telah digunakan paling tidak selama 100 tahun terakhir. Yang dilakukan saat tes IQ yaitu memecahkan soal-soal matematika, mendefinisikan kata-kata, menciptakan rancangan-rancangan, mengulang angka-angka dalam ingatan dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya.
Padahal, tes IQ tidak sesempurna orang yang di tes IQ tersebut. Mengapa? Karena 1) banyak sekali kecerdasan yang belum dikenali oleh tes IQ, 2) tes IQ tidak dapat meramalkan apa pekerjaan yang cocok setelah besar nanti, 3) tes IQ tidak dapat meramalkan ketercapaian cita-cita, 4) tes IQ hanya memerhatikan bagian besar dari kepandaian bidang kata-kata atau angka-angka dan 5) tes IQ mengabaikan kecerdasan lainnya, seperti musik, seni, alam, eksistensi dan hubungan antarsesama.
Menyikapi fakta bahwa terdapat berbagai macam kecerdasan tersebut, maka sekolah sebenarnya telah menjangkau hal ini, buktinya bahwa terdapat beragam pelajaran yang disuguhkan untuk murid. Paul Suparno dalam bukunya "Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah", menyebutkan bahwa untuk mengajarkan kecerdaan bahasa terdapat pada Bahasa, IPS, Sejarah, Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Untuk membelajar Matematis-Logis terdapat pada Matematika, IPA dan Ekonomi. Membelajarkan murid akan kecerdasan ruang ada pelajaran menggambar. Untuk meninggikan kecerdasan tubuh-kinestetis pada pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Meninggikan kecerdasan musikal murid ada Seni Budaya. Untuk mengasah kecerdasan lingkungan terdapat mata pelajaran Biologi. Untuk menajamkan kecerdasan intrapribadi, interpribadi dan eksistensial terdapat pengembangan diri. Jadi, sebenarnya sekolah formal sudah melaksanakan pembelajaran multiple intelijensi ini.
Permasalahan yang terjadi adalah kadang kita kurang menyadari hal ini. Menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika dan IPA yang lebih penting, tinibang pelajaran di luar itu. Mengapa? Ada banyak alasan, misalnya untuk menyiapkan murid menghadapi ujian nasional. Akhirnya, anak yang tadinya mencintai pelajaran olahraga (karena cita-citanya ingin menjadi atlet) atau yang suka latihan band/suka karaokean di rumah disela-sela kerajinannya belajar, eh malah dimarahi/diomelin oleh orang tuanya.
"Ngapain lu suka latihan band/karaokean atau sering latihan basket/voli/olahraga lainnya, kan itu tidak menjamin masa depanmu, mendingan kamu les bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika atau Ekonomi". "Gih pergi les, cepat-cepat!!!". "Ngapain sih piano, gitar, nyanyi pake les segala?". "Ndak ada gunanya tu". Pelajaran itu kan tidak di-UN-kan!. "Ntar tidak lulus ujian ibu/bapak yang malu". Itulah sederetan celotehan ibu/bapak melihat anaknya tidak mau pergi les. Celoteh ibu/bapak tersebut mencerminkan terjadinya paradoks terhadap kecerdasan anak (murid).
Hemat penulis, sikap kita sebagai orang tua, yaitu memberikan bimbingan yang toleran terhadap anak, biarkan dia berkembang dengan bakat/talentanya. Tugas orang tua adalah memberikan arahan, pertimbangan baik/buruk suatu kegiatan dan memberikan peringatan jika si anak sudah berada di luar jalur 'rel' sesungguhnya.
Lalu, tugas guru di sekolah, yaitu guru/staff dan yang lainnya, berikanlah pengertian yang cukup, penjelasan yang maksimal dan dampingan intensif kepada muridnya. Ingatkan bahwa manusia itu unik yang memiliki banyak kecerdasan. Murid sebenarnya dapat mempelajari semua pelajaran dengan baik. Cuman, caranya yang perlu dikatahui. Sudah selayaknya sekolah membimbing murid mengenai bagaimana mempelajari sesuatu. Guru dapat meracik pembelajaran yang menyentuh kedirian setiap murid dan menjangkau semua kecerdasan dominan, agar setiap potensi kecerdasan ditinggikan semuanya. Sadarkan murid bahwa tidak ada satupun orang/murid/anak yang bodoh alias semuanya cerdas.
Libatkan mereka dalam pembelajaran (gunakan aroma pembelajaran konstruktivisme), gali sebanyak mungkin informasi dari murid, gunakan mereka sebagai sumber belajar, jadikan murid sebagai 'guru' bagi murid yang lainnya, sehingga kita mempertegas peran kita adalah sebagai guru (master) sekaligus fasilitator dan mediator pembelajaran. Guru di kelas diharapkan dapat menciptakan suasanan pembelajaran yang menyenangkan, inpiratif, inovatif, komunikatif dan memberdayakan murid. Angkat setinggi-tingginya kecerdasan majemuk murid agar mereka sanggup menyongsong tantangan (misalnya Ulangan, Ujian Sekolah/Nasional) kini, esok maupun kelak ketika mereka sudah berada di masyarakat.
Akhirnya, untuk menjangkau semua itu, penulis kira perlu dibangun sebuah networking (arti; jejaring) antarstakeholders pendidian, bangun komunikasi yang inten, terus-menerus. Guru di sekolah perlu dukungan orang tua. Mari membangun sebuah network pendidikan baik komunikasi antara guru-murid-orang tua, sehingga murid juga merasa didukung sepenuhnya oleh semua orang. Itu semua bermuara pada dtinggikannya, ditingkatkannya, dinaikkan setinggi-tingginya kecerdasan setiap anak (murid).
Sumber: http://www.mail-archive.com/ mediacare@yahoogroups.com
TAHU tidak? Anak kita itu lebih cerdas daripada yang kamu duga!. Cerdas itu lebih dari sekedar meraih peringkat yang baik serta nilai ujian yang baik di sekolah. Cerdas itu lebih dari sekedar pandai membaca, cepat memecahkan soal matematika dan menghafal.
Cerdas itu lebih dari sekedar mempunyai Intellingence Quotient (IQ) tinggi. Psikolog (baca; sikolog) bernama Dr. Howard Gardner memelajari bagaimana anak-anak serta orang dewasa belajar. Ia menemukan ternyata ada berbagai indikator kecerdasan. Umpamanya, kamu bisa Cerdas dalam musik, bisa Cerdas Memahami Sesama dan bahkan bisa Cerdas Memahami Alam. Teori itu disebut oleh Dr. Howard Gardner sebagai Teori Multipel Intelijensi.
Dua pragraf di atas dituangkan Interaksara mengakhiri kupasan buku 'Kamu itu Lebih Cerdas daripada yang Kamu Duga' yang ditulis oleh Thomas Armstrong, Ph. D dengan judul buku aslinya 'You're Smarter Than You Think'. Dengan teori ini Gardner mulai mengubah bagaimana para guru mengajar di sekolah-sekolah di seluruh dunia.
Dr. Howard Gardner menemukan paling tidak 9 (sembilan) macam kecerdasan, yaitu kecerdasan bahasa, kecerdasan musik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan ruang, kecerdasan tubuh-kinestetik, kecerdasan antarpribadi, kecerdasan intrapribadi, kecerdasan naturalis dan eksistensial (Armstrong, 2004).
Mencoba menarik benang merah (baca; merefleksikan) tiga paragraf di atas, beberapa pertanyaan muncul dalam benak penulis. Apakah kita masih berpegang teguh bahwa hanya dengan mengandalkan satu macam kecerdasan saja kita akan sukses dalam pertarungan hidup ini? Apakah orang tua akan marah kalau anaknya yang rajin belajar lalu ditambahnya rajin berolahraga atau bernyanyi/latihan band? Apakah sekolah perlu mengembangkan pendidikan yang membelajarkan sembilan macam kecerdasan tersebut? Bagaimana sikap kita, terlebih sebagai pendidik, terhadap kenyataan bahwa ternyata kecerdasan bukan hanya logis-matematis dan bahasa? Apakah perlu kita mengembangkan kecerdasan lain di luar kecerdasan logis-matematis dan bahasa?
Ada banyak orang yang beranggapan bahwa mengetahui IQ melalui tes IQ merupakan cara yang terbaik untuk menakar kecerdasan seseorang. Tes IQ untuk menentukan tingkat kecerdasan seseorang telah digunakan paling tidak selama 100 tahun terakhir. Yang dilakukan saat tes IQ yaitu memecahkan soal-soal matematika, mendefinisikan kata-kata, menciptakan rancangan-rancangan, mengulang angka-angka dalam ingatan dan menyelesaikan tugas-tugas lainnya.
Padahal, tes IQ tidak sesempurna orang yang di tes IQ tersebut. Mengapa? Karena 1) banyak sekali kecerdasan yang belum dikenali oleh tes IQ, 2) tes IQ tidak dapat meramalkan apa pekerjaan yang cocok setelah besar nanti, 3) tes IQ tidak dapat meramalkan ketercapaian cita-cita, 4) tes IQ hanya memerhatikan bagian besar dari kepandaian bidang kata-kata atau angka-angka dan 5) tes IQ mengabaikan kecerdasan lainnya, seperti musik, seni, alam, eksistensi dan hubungan antarsesama.
Menyikapi fakta bahwa terdapat berbagai macam kecerdasan tersebut, maka sekolah sebenarnya telah menjangkau hal ini, buktinya bahwa terdapat beragam pelajaran yang disuguhkan untuk murid. Paul Suparno dalam bukunya "Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah", menyebutkan bahwa untuk mengajarkan kecerdaan bahasa terdapat pada Bahasa, IPS, Sejarah, Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Untuk membelajar Matematis-Logis terdapat pada Matematika, IPA dan Ekonomi. Membelajarkan murid akan kecerdasan ruang ada pelajaran menggambar. Untuk meninggikan kecerdasan tubuh-kinestetis pada pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan. Meninggikan kecerdasan musikal murid ada Seni Budaya. Untuk mengasah kecerdasan lingkungan terdapat mata pelajaran Biologi. Untuk menajamkan kecerdasan intrapribadi, interpribadi dan eksistensial terdapat pengembangan diri. Jadi, sebenarnya sekolah formal sudah melaksanakan pembelajaran multiple intelijensi ini.
Permasalahan yang terjadi adalah kadang kita kurang menyadari hal ini. Menganggap pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika dan IPA yang lebih penting, tinibang pelajaran di luar itu. Mengapa? Ada banyak alasan, misalnya untuk menyiapkan murid menghadapi ujian nasional. Akhirnya, anak yang tadinya mencintai pelajaran olahraga (karena cita-citanya ingin menjadi atlet) atau yang suka latihan band/suka karaokean di rumah disela-sela kerajinannya belajar, eh malah dimarahi/diomelin oleh orang tuanya.
"Ngapain lu suka latihan band/karaokean atau sering latihan basket/voli/olahraga lainnya, kan itu tidak menjamin masa depanmu, mendingan kamu les bahasa Inggris, Matematika, Kimia, Fisika atau Ekonomi". "Gih pergi les, cepat-cepat!!!". "Ngapain sih piano, gitar, nyanyi pake les segala?". "Ndak ada gunanya tu". Pelajaran itu kan tidak di-UN-kan!. "Ntar tidak lulus ujian ibu/bapak yang malu". Itulah sederetan celotehan ibu/bapak melihat anaknya tidak mau pergi les. Celoteh ibu/bapak tersebut mencerminkan terjadinya paradoks terhadap kecerdasan anak (murid).
Hemat penulis, sikap kita sebagai orang tua, yaitu memberikan bimbingan yang toleran terhadap anak, biarkan dia berkembang dengan bakat/talentanya. Tugas orang tua adalah memberikan arahan, pertimbangan baik/buruk suatu kegiatan dan memberikan peringatan jika si anak sudah berada di luar jalur 'rel' sesungguhnya.
Lalu, tugas guru di sekolah, yaitu guru/staff dan yang lainnya, berikanlah pengertian yang cukup, penjelasan yang maksimal dan dampingan intensif kepada muridnya. Ingatkan bahwa manusia itu unik yang memiliki banyak kecerdasan. Murid sebenarnya dapat mempelajari semua pelajaran dengan baik. Cuman, caranya yang perlu dikatahui. Sudah selayaknya sekolah membimbing murid mengenai bagaimana mempelajari sesuatu. Guru dapat meracik pembelajaran yang menyentuh kedirian setiap murid dan menjangkau semua kecerdasan dominan, agar setiap potensi kecerdasan ditinggikan semuanya. Sadarkan murid bahwa tidak ada satupun orang/murid/anak yang bodoh alias semuanya cerdas.
Libatkan mereka dalam pembelajaran (gunakan aroma pembelajaran konstruktivisme), gali sebanyak mungkin informasi dari murid, gunakan mereka sebagai sumber belajar, jadikan murid sebagai 'guru' bagi murid yang lainnya, sehingga kita mempertegas peran kita adalah sebagai guru (master) sekaligus fasilitator dan mediator pembelajaran. Guru di kelas diharapkan dapat menciptakan suasanan pembelajaran yang menyenangkan, inpiratif, inovatif, komunikatif dan memberdayakan murid. Angkat setinggi-tingginya kecerdasan majemuk murid agar mereka sanggup menyongsong tantangan (misalnya Ulangan, Ujian Sekolah/Nasional) kini, esok maupun kelak ketika mereka sudah berada di masyarakat.
Akhirnya, untuk menjangkau semua itu, penulis kira perlu dibangun sebuah networking (arti; jejaring) antarstakeholders pendidian, bangun komunikasi yang inten, terus-menerus. Guru di sekolah perlu dukungan orang tua. Mari membangun sebuah network pendidikan baik komunikasi antara guru-murid-orang tua, sehingga murid juga merasa didukung sepenuhnya oleh semua orang. Itu semua bermuara pada dtinggikannya, ditingkatkannya, dinaikkan setinggi-tingginya kecerdasan setiap anak (murid).
Sumber: http://www.mail-archive.com/ mediacare@yahoogroups.com
Uji Coba Ujian Nasional
Hari ini anak kelas XII mulai merasakan lagi atmosfer pertarungan Ujian Nasional. Mereka akan mengikuti Uji Coba Ujian Nasional. Hari pertama yang ringan-dan berat langsung menyapa, BSI dan Matematika. Dari semua persiapan menjelang Ujian Nasional sesungguhnya, Uji Coba ini memang sangat signifikan untuk mengevaluasi sejauh mana semua komponen sekolah turut dalam mensukseskan pelaksanaan Ujian Nasional 2010.
Anak-anak akan mendapatkan pengalaman nyata, dengan berhadapan langsung dengan LJK [yang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati dan cermat], menghadapi soal-soal Uji Coba yang sudah disesuaikan dengan kisi-kisi [kemungkinan mereka sudah agak sedikit hafal tipe-tipe soal yang akan keluar], namun jika nanti agak berbeda kompleksitasnya, mereka akan terkejut dan mulai menemukan sensasi Ujian Nasional.
Selamat berjuang ananda. Sabar, ulet dan terus percaya diri. Tuhan memberkati perjuangan kita.
Anak-anak akan mendapatkan pengalaman nyata, dengan berhadapan langsung dengan LJK [yang harus diperlakukan dengan sangat hati-hati dan cermat], menghadapi soal-soal Uji Coba yang sudah disesuaikan dengan kisi-kisi [kemungkinan mereka sudah agak sedikit hafal tipe-tipe soal yang akan keluar], namun jika nanti agak berbeda kompleksitasnya, mereka akan terkejut dan mulai menemukan sensasi Ujian Nasional.
Selamat berjuang ananda. Sabar, ulet dan terus percaya diri. Tuhan memberkati perjuangan kita.
Langganan:
Postingan (Atom)