Selasa, 10 November 2009

PENDIDIKAN GRATIS ! SEBUAH KENISCAYAANKAH?


PENDIDIKAN GRATIS ! SEBUAH KENISCAYAANKAH?
(Mengintip Peluang Implementasi Pendidikan Gratis di Kabupaten Boyolali)

A. Angin Segar dari Sang Menteri Pendidikan Nasional
Di awal tugasnya sebagai Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo pernah menjelaskan tiga komitmennya dalam meningkatkan pendidikan. Ketiganya adalah pendidikan gratis, akses ke pendidikan tinggi, dan kesejahteraan guru.
Mendiknas menegaskan akan memberi perhatian yang sangat besar pada pendidikan dasar dan menengah. "Karena itu menyangkut hak warga negara atas pendidikan," ujarnya. Hak atas pendidikan dasar adalah wajib bagi pemerintah untuk menyediakannya.
Pendidikan gratis dapat diwujudkan bagi segmen tertentu masyarakat, yang memang pantas untuk digratiskan. "Tapi untuk orang kaya, saya tidak akan memberikan gratis," katanya.
Bambang menjelaskan, ada proses pendidikan yang memaksimalkan mutu akan melalui proses kompetitif, tapi ada juga porsi pendidikan yang tidak mungkin dijalankan dengan mekanisme kompetitif. "Terutama jika terkait hak warga negara, yaitu wajib belajar," tuturnya.
Tentang pendidikan tinggi, Mendiknas mengatakan yang paling penting adalah mutu, bukan pemerataan. "Tapi kalau menyangkut pendidikan wajib, isunya adalah pemerataan," ujarnya. Karena menyangkut hak warga negara atas pendidikan yang dijamin dalam konstitusi. Tetapi isu pendidikan tinggi adalah bagaimana melahirkan putra-putra bangsa yang menonjol dan kompetitif. "Dan itu tidak mungkin dihasilkan dengan proses yang murah," tegasnya.
Ia berjanji akan memberi akses bagi mereka yang kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi. "Itu bisa diatur," ujarnya seraya menambahkan dengan opsi pengembangan sistem subsidi silang pembiayaan pendidikan.

B. Embrio Gagasan Pendidikan Gratis
Jauh sebelum Mendiknas mengumbar janjinya, sudah ada niatan baik dari Pemerintah terdahulu. Sudah lebih dari dua puluh lima tahun, tepatnya sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan.
Terlebih lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas. Selain itu, era global abad ke-21, yang antara lain ditandai oleh lahirnya knowledge base society atau masyarakat berbasis pengetahuan, menuntut penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
Hanya saja, meskipun sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar-mulai dari wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun-masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar (compulsory education) atau universal education yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Dua konsep tersebut berbeda dan hal ini jelas tertuang dalam keputusan internasional, yakni Declaration on Education for All di Jomtien, Thailand, tahun 1990, yang menegaskan compulsory education bukan universal education.

Wajib belajar terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Di berbagai negara yang mewajibkan warganya menempuh pendidikan dasar sembilan tahun, semua rintangan yang menghalangi anak menempuh pendidikan bermutu dihilangkan. Termasuk dalam hal pendanaan pendidikan.
Di China pemerintah menggratiskan pendidikan dasar dan memberikan subsidi bagi siswa yang keluarganya mempunyai masalah ekonomi. Pengalaman negara lain pun hampir serupa. Di India wajib belajar berimplikasi juga pada pembebasan biaya pendidikan dasar. Bahkan, di negara yang baru keluar dari konflik dan kemiskinan masih mencengkeram seperti Kamboja, pendidikan dasar digratiskan dan disertai dengan upaya peningkatan mutu, khususnya dari segi tenaga pendidik.
Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan wajib belajar. China, misalnya, membagi hukum wajib belajar sembilan tahun menjadi tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya berbeda-beda. Sebagai bentuk komitmen terhadap wajib belajar dikeluarkan pula pernyataan pada Januari 1986, yang menyatakan ilegal mempekerjakan anak sebelum selesai wajib belajar sembilan tahun.
Negara super power seperti Amerika Serikat dalam masa perang dingin, sekitar tahun 1981, sempat khawatir dengan ketertinggalan pendidikannya sehingga muncullah laporan A Nation at Risk. Laporan tersebut mengatakan bahwa yang menyebabkan ketertinggalan Amerika dalam persaingan global antara lain karena buruknya pendidikan.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2003, pandangan yang muncul pada tahun 1983 itu perlu dievaluasi. Apakah benar bahwa saat itu Amerika Serikat dalam bahaya dan berisiko? Dengan kemenangan Amerika Serikat dalam perang dingin memang tidak semua laporan itu benar.
Namun, pandangan tersebut juga menyajikan kenyataan pahit, yakni dengan status sebagai negara adidaya ternyata masih banyak anak di Amerika Serikat yang drop out dari sekolah. Amerika Serikat kemudian menganggap perlu peraturan dalam melaksanakan wajib belajar sehingga lahir undang-undang yang terkenal dengan sebutan "No Child Left Behind". Dengan undang-undang ini, berbagai jenis pendidikan, mulai dari sekolah yang diadakan oleh keluarga di rumah hingga etnis minoritas, ditanggung negara.
MENGAPA pendidikan dasar gratis? Bagi Indonesia jaminan akses terhadap pendidikan dasar sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bagi negara maju pendidikan gratis-selain karena tuntutan konstitusi mereka-juga didukung perekonomian negara yang sudah cukup mapan untuk investasi pendidikan. Anggaran pendidikan setidaknya telah mencapai 5-8 persen produk domestik bruto. Sementara di Indonesia investasi pendidikan masih sangat kecil, sekitar 1,3 persen dari produk domestik bruto. Jatah bagi investasi pendidikan semakin kecil lagi lantaran produk domestik bruto sendiri sudah kecil. Padahal, untuk mewujudkan pendidikan dasar gratis ini memang perlu servis dari pemerintah.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Di sisi lain pemerintah dihadapkan dengan pilihan yang sulit. Apakah akan mementingkan distribusi pendapatan atau menekankan kepada investasi sosial, seperti pendidikan dan kesehatan? Jika pilihan jatuh kepada distribusi pendapatan, konsekuensinya adalah investasi sosial akan berkurang.
Dalam "ketegangan" tersebut, persoalan sosial lalu cenderung diserahkan kepada masyarakat, seperti yang terjadi selama ini di Indonesia. Tak jarang keluar ungkapan dari pemerintah bahwa masyarakat harus diberdayakan, termasuk membayar sendiri pendidikannya. Di sinilah sebenarnya muncul apa yang disebut dengan neoliberalisme dalam wajah pendidikan.
"Untuk kasus Indonesia, sebenarnya ketegangan antara dua pandangan itu dapat disinergikan. Kita harus pintar- pintar memilih, distribusi pendapatan atau investasi. Sebagai contoh, jika menganut distribusi pendapatan dalam investasi, kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak itu dikembalikan melalui berbagai program bantuan kepada rakyat. Akan tetapi, jika dalam penyalurannya ternyata korupsinya semakin banyak, lebih baik terang- terangan dimasukkan ke dalam investasi pendidikan," kata HAR Tilaar.
SUMBER pembiayaan pendidikan dasar gratis dapat berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan dasar gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Adapun pemerintah daerah harus terlibat karena merekalah yang mempunyai dan menguasai data lapangan. Hanya saja, ada kecenderungan pemerintah pusat tidak mau menyerahkan dana operasional untuk menjalankan pendidikan ke pemerintah daerah. Di samping itu, pemerintah daerah juga perlu ikut menyisihkan sebagian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk wajib belajar.
Peraturan apa saja yang harus dibiayai dalam pendidikan dasar gratis itu harus jelas pula. Pembiayaan pemerintah setidaknya mencakup tiga komponen, yaitu kurikulum, proses, dan fasilitas belajar.
Kurikulum yang digunakan harus jelas dan disepakati terlebih dahulu sehingga diketahui materi yang akan diajarkan dan besarnya biaya untuk pendidikan. Dengan demikian, penggunaan dana pendidikan menjadi efisien. Kurikulum yang mencakup puluhan mata pelajaran tentu lebih mahal daripada hanya sepuluh pelajaran. Sayangnya, penggunaan kurikulum, seperti Kurikulum Berbasis Kompetensi yang diperbaharui menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masih membingungkan.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi antara lain buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Abdorrakhman Ginting percaya, sebetulnya pendidikan gratis masih mungkin dilaksanakan. Untuk menggantikan Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi 24 juta siswa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama dengan bantuan dana Rp 15.0000 per kepala setahun dibutuhkan Rp 4 triliun. Sementara untuk meningkatkan gaji 2,2 juta orang guru sebesar Rp 500.000 per bulan, agar kualitasnya terpacu, diperlukan Rp 1,1 triliun per bulan atau Rp 13,2 triliun setahun. Jadi total untuk menggratiskan biaya SPP dan peningkatan gaji guru yang dibutuhkan setahun Rp 17,4 triliun.
Pada prinsipnya pendidikan gratis tidak dapat dikatakan sepenuhnya gratis karena tetap harus ada yang membiayai. Ada biaya terselubung, yang di negara lain seperti di Amerika Serikat sudah tersistem dalam satu kesatuan administrasi negara.
Di Amerika Serikat sekolah publik gratis karena ada pajak sekolah khusus. Warga negara Amerika Serikat yang mempunyai tanah dan rumah harus membayar pajak sekolah di distriknya, terlepas dari warga tersebut mempunyai anak atau tidak. Di Belanda rata-rata pajak penghasilan cukup tinggi, yakni 60 persen. Sementara di negara-negara Skandinavia, pajak penghasilan mencapai 70 persen, tetapi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan dijamin.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Filipina, misalnya, mempunyai pengalaman buruk dengan penggunaan voucher pendidikan. Warga yang menginginkan pendidikan lebih membayar sendiri sisanya, tetapi sayangnya model tersebut tidak jalan dan rawan korupsi.
Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat, walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar, sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.

C. Perangkap Pendidikan Gratis
Ada pameo no such a thing as a free lunch, tidak ada makan siang gratis. Pameo tersebut penting untuk direnungkan kembali, terutama terkait dengan pendidikan gratis yang cenderung menjadi komoditas politik. Dalam kampanye pilkada beberapa kandidat secara "gagah berani" menjanjikan pendidikan gratis jika terpilih. Beberapa kepala daerah yang sudah menjabat bahkan tidak ragu mengeluarkan kebijakan sekolah gratis.
Sebenarnya hal itu (tentu saja) tidak dilarang, karena sesungguhnya kebijakan merupakan masalah pilihan. Setiap kebijakan mengandung konsekuensi tertentu. Masalahnya, apakah semua pihak menyadari apa konsekuensi kebijakan tersebut.
Yang dimaksud dengan "pendidikan gratis" di sini adalah penyelenggaraan pendidikan tanpa mengikutsertakan masyarakat (orang tua) dalam pembiayaan, khususnya untuk keperluan operasional sekolah. Dalam pengertian seperti itu, konsekuensi kebijakan pendidikan gratis sangat bergantung pada perhitungan tentang biaya satuan (unit cost) di sekolah. Biaya satuan memberikan gambaran berapa sebenarnya rata-rata biaya yang diperlukan oleh sekolah untuk melayani satu murid.
Besarnya biaya satuan kemudian harus dibandingkan dengan dana BOS (bantuan operasional sekolah) yang sejak 2005 diterima sekolah dari pemerintah (pusat). Untuk 2007, dana BOS bernilai Rp 21.000 per siswa per bulan untuk SD/MI dan Rp 29.500 untuk SMP/MTs. Mulai tahun 2009 siswa per bulan akan menerima dana BOS yang peningkatannya sangat signifikan.
Pertanyaan pertama, apakah sebelum mencanangkan atau menjanjikan pendidikan gratis para (calon) pimpinan daerah sudah menghitung biaya satuan? Pertanyaan kedua, jika ternyata biaya satuan di tingkat sekolah lebih besar dibandingkan dengan dana BOS, siapa yang akan menutup kekurangan tersebut?
Kebijakan pendidikan gratis jelas tidak membebankan kekurangan biaya tersebut kepada masyarakat (orang tua). Alternatifnya hanya dua, yaitu dipenuhi oleh pemerintah (pemda) atau dibiarkan tanpa satu pihak pun yang menutupnya. Jika pemda yang akan menutup kekurangan biaya di sekolah berarti diperlukan alokasi APBD sesuai dengan jumlah murid. Sebagai gambaran, selisih antara biaya satuan dan BOS adalah Rp 15.000 dan di suatu kabupaten terdapat 200.000 murid SD maka diperlukan tambahan APBD senilai Rp 3 miliar untuk tingkat SD saja. Semakin besar selisih antara BOS dengan biaya satuan dan semakin besar jumlah murid di suatu daerah semakin besar alokasi APBD yang diperlukan. Jika pemda tidak mau (atau tidak mampu) mengalokasikan anggaran yang diperlukan dan tetap konsisten dengan kebijakan pendidikan gratis, itu artinya sekolah dibiarkan untuk beroperasi dengan dana yang lebih rendah dari kebutuhannya. Berarti pula sekolah tidak akan mampu memberikan pelayanan kepada siswa sesuai standar.
Dalam buku Panduan BOS Tahun 2007 dinyatakan bahwa pemda tetap harus mengalokasikan APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Selain itu, BOS masih memperbolehkan sekolah untuk menerima sumbangan dari orangtua yang mampu. Yang dengan tegas harus "gratis" adalah bagi siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu.
Secara implisit, hal itu menunjukkan bahwa pengelola BOS menyadari dana BOS sebenarnya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan operasional di sekolah. Meskipun demikian, tidak semua orang menyadari hal itu.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa berbagai "model" kebijakan pembiayaan pendidikan di daerah.
Pertama, pemda menganggap BOS tidak cukup, sehingga mengalokasikan dana APBD dalam jumlah cukup besar sebagai "pendamping BOS", kemudian menggratiskan pendidikan. Sebagai ilustrasi, sampai 2007 DKI Jakarta mengalokasikan Rp 50.000 per siswa per bulan untuk SD dan Rp 100.000 untuk SMP. Contoh lain, Kota Bekasi juga mengalokasikan APBD 2008 cukup besar untuk pendamping BOS, sekitar Rp 30.000 per siswa per bulan untuk SD. Ini merupakan kondisi yang mendekati "ideal". Sekolah tercukupi kebutuhannya, sementara masyarakat menikmati pelayanan pendidikan tanpa harus membayar.
Kedua, pemda menganggap dana BOS sudah cukup bagi sekolah, sehingga menggratiskan sekolah, tetapi tidak mengalokasikan (atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya untuk keperluan operasional sekolah. Ini merupakan kondisi yang sangat menyulitkan banyak sekolah dan dikhawatirkan berimplikasi buruk bagi kualitas pendidikan. Di sisi lain, masyarakat "menikmati" sekolah gratis, meskipun ada "ancaman" penurunan kualitas (yang belum tentu dirasakan dengan segera).
Ketiga, pemda menganggap BOS tidak cukup, tidak mengalokasikan (atau mengalokasikan dalam jumlah kecil) APBD-nya, tetapi masih memperbolehkan sekolah menarik dana partisipasi dari masyarakat.
Langkah ini tidak "populer", karena masyarakat masih dibebani dengan biaya pendidikan. Tetapi, sekolah tidak "menderita", karena kekurangan dana operasional masih bisa ditutup dengan kontribusi dari orang tua/masyarakat.
Situasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan gratis tidak selalu "baik" bagi masyarakat. Masyarakat memang memerlukan pendidikan yang murah, tetapi pada saat yang sama juga memerlukan pendidikan yang bermutu. Dan sayangnya, kedual hal itu (murah dan bermutu) tidak selalu bisa berjalan seiring. Dalam kasus tertentu, di mana pemda tidak mengalokasikan APBD dalam jumlah yang cukup untuk keperluan operasional sekolah, kebijakan pendidikan gratis justru menjadi perangkap.
Kualitas pendidikan, yang sudah sering diragukan, akan semakin terpuruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan operasional sekolah. Oleh karena itu, masyarakat harus cukup cerdas untuk mencermati wacana pendidikan gratis, khususnya yang dijanjikan oleh para kandidat dalam pilkada. Caranya, antara lain, dengan menuntut penjelasan yang lebih rinci tentang bagaimana kebijakan tersebut hendak diimplementasikan. Hal lain yang perlu dilihat secara kritis adalah wacana pendidikan gratis yang dilontarkan oleh para calon gubernur. Mengapa demikian? Karena pengelolaan pendidikan (selain pendidikan tinggi) merupakan kewenangan wajib kabupaten/kota. Kabupaten/kota yang pada akhirnya bertanggung jawab untuk menggratiskan (atau tidak menggratiskan) pendidikan. Kalau seorang (calon) gubernur menyatakan bahwa di provinsinya pendidikan akan digratiskan, itu sama saja dengan melemparkan "bola panas" ke tangan para bupati/walikota. Jika akhirnya masyarakat menuntut realisasi pendidikan gratis, yang harus bertanggung jawab adalah kabupaten/kota, bukan provinsi!

D. Merealisasikan Pendidikan Gratis di Kabupaten Boyolali
Tidak terlalu sulit sebenarnya jika ingin benar-benar mencerdaskan anak bangsa di Kabupaten Boyolali dengan memberikan Pendidikan murah bahkan gratis (benar-benar bebas biaya). Berikut ini adalah beberapa hal yang penting dilakukan, antara lain:
1. Penyadaran publik
Penyadaran yang dimaksud adalah penyadaran dalam melakukan tindakan yang bisa merugikan masyarakat luas (Korupsi, Kolusi dan Nepotismen (KKN). Stop korupsi, budayakan malu dan mendorong ulama membuat fatwa haram untuk korupsi. Dana sekolah dikelola dengan manajemen yang etis, jujur dan akuntabel. Semua stakehoulder bisa memeriksa sewaktu-waktu, tidak hanya Barikda dan Inspektorat Daerah.




2. Peningkatan persentase alokasi dana pendidikan
Persentase dana pendidikan di Indonesia hanya berkisar 11 % dari pendapatan negara, walaupun sekarang sudah dimanatkan 20 % dari APBN, namun realisasinya masih sangat alot. Hal ini berbeda jauh dengan negara-negara lain yang juga mencanangkan program pendidikan gratis. Yakni, 28 % dari anggaran. Jika Indonesia bisa menaikkan anggaran menjadi 30-40% dari anggaran pendapatan dan belanja negara, dan Pemerintah Kabupaten Boyolali berani mengalokasikan APBD-nya sebesar itu, maka pencerdasan anak bangsa, menurunnya angka kemiskinan, pengangguran dan angka kriminalitas akan dapat terwujud.

3. Penyaringan Investor Asing
Banyak investor asing dari negara luar membawa dollar untuk menarik perhatian pemerintah Indonesia meningkatkan devisa negara. Namun, selain menambah devisa dengan mereka membawa dollar mereka lebih banyak merugikan negara dan masyarakat Indonesia. Pertambangan-pertambangan besar yang merambah bumi pertiwi telah merusak aset negara (hutan dan keanekaragaman hayatinya yang tinggi) yang tidak semua negara memiliki kekayaan yang seperti Indonesia miliki. Pengeksplotasian besar-besaran untuk emas, batu bara, minyak dan SDA lainnya hanya memberikan sumbangsih kecil terhadap pendidikan di Indonesia, dimana sebenarnya masyarakat haus akan ilmu pengetahuan dan lelahnya penjajahan (yang sekarang terjadi adalah penjajahan SDA).
Pertambangan di Indonesia, di ekspor ke negara-negara luar dengan harga rendah hal ini dikarenakan ekploitasi terjadi secara besar-besaran tanpa ada batasan yang akhirnya malah menurunkan pasaran harga. Dan besarnya pendapatan saat ini tidak akan sebanding dengan kerugian yang akan terjadi pasca kegiatan-kegiatan penambangan. Dengan ini seharusnya pemerintah melakukan seleksi terhadap Investor yang masuk ke Indonesia, dan mengeluarkan undang-undang yang mengatur batas pengeksporan SDA yang di miliki Indonesia agar dapat selalu mempertahankan harga maksimal. Sehingga, dapat memberikan sumbangsih yang besar bagi dunia pendidikan.

4. Program Pengabdian Mahasiswa
Mahasiswa sebagai tonggak perubahan bangsa dan mempunyai peran penting dalam pendampingan-pendampingan generasi berikutnya. Dengan adanya program pengabdian mahasiswa (khususnya FKIP) selama lebih kurang 1 tahun sebelum mengenyam Sarjana, akan sangat membantu dalam proses pencerdasan anak-anak sekolah dan akan lebih baik jika mahasiswa yang mengabdi di tempatkan pada daerah-daerah yang sangat kurang tenaga pengajarnya (daerah-daerah pedalaman) tentunya penempatannya dibiayai 50% oleh pemerintah daerah. Program ini perlu juga dibicarakan lebih dalam bersama pihak perguruan tinggi sehingga dapat berjalan sesuai dengan alur yang diharapkan. Program ini juga akan membantu mahasiswa FKIP terbiasa untuk menjadi guru abdi (bersosial), sebelum benar-benar turun dalam dunia kerja dan menjadi guru (PNS).

5. Subsidi Silang Masyarakat Kelas Atas
Di negara Indonesia banyak sekali rakyat miskin yang untuk makan pada hari esok masih sulit apalagi harus berpikir untuk sebuah pendidikan. Namun, banyak juga masyarakat kelas atas yang sudah cukup makan, berpendidikan, berpakaian layak, berumah, bermobil. Subsidi silang masyarakat kelas atas untuk masyarakat kelas bawah dapat dilakukan dengan cara memberikan pajak tinggi terhadap barang-barang mewah yang dimiliki dan dikenakan biaya pendidikan lebih tinggi kepada mereka yang hidup pada kelas atas. Dengan demikian akan sangat membantu pemerintah untuk dapat memberi bantuan biaya sekolah bagi anak kurang mampu, anak putus sekolah dan anak-anak jalanan yang haus akan ilmu pengetahuan dan ingin sekali mengenyam pendidikan sekolah.



6. Pembekalan Pemuda/Pemudi Untuk Menjadi Guru Sosial
Saat ini rata-rata di setiap RT/Kelurahan, pasti memiliki organisasi kepemudaan. Dari organisasi yang ada pemerintah dapat turun tangan memberi pelatihan kepada mereka selama 3-6 bulan untuk bisa menjadi guru sosial dan setelah mengikuti pelatihan diharapkan dari guru sosial (relawan pendidikan) dapat mulai mengajar di sekolah dasar yang masih kurang tenaga pengajarnya. Hal ini untuk menekan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membayar mahal tenaga guru/pendidik (PNS).

Beberapa hal diatas merupakan solusi yang coba diberikan agar tidak ada lagi anak di bawah umur yang bunuh diri akibat malu karena tidak membayar uang sekolah, tidak ada lagi anak yang putus sekolah dan tidak ada lagi pemandangan anak-anak berada di jalanan pada jam-jam sekolah, yang pada akhirnya tidak akan ada lagi kebodohan di negeri tercinta ini.
Dengan pencerdasan anak bangsa dan ilmu pengetahuan semakin berkembang, masyarakat tidak lagi terjajah oleh westernisasi dan teknologi. Maka Indonesia dapat dengan segera menjadi salah satu negara maju yang ada di dunia.

E. Pengawasan Terhadap Pendidikan Gratis
Pengucuran bantuan operasional sekolah masih membutuhkan pengawasan. Untuk pengawasan tersebut, pemerintah daerah masih membutuhkan dukungan pemerintah pusat dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional.
Hal itu terungkap dalam sosialisasi mengenai kebijakan pendidikan gratis pendidikan dasar tahun 2009 kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi oleh Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, Selasa (20/1). Dalam kesempatan yang sama, disosialisasikan pula Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP).
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Rasiyo, mengatakan, pelaksanaan pendidikan gratis yang oleh pemerintah dilaksanakan dengan mengucurkan BOS masih membutuhkan pengawasan. Di Jawa Timur misalnya, pemerintah provinsi membiayai sendiri dari APBD untuk pengawasan. "Kami mengangkat 6.000 pengawas dengan jumlah sekolah SD/MI sebanyak 33.000 dan SMP/MTs sebanyak 3.000 sekolah."
"Tugas pengawas membina sekolah, merancang, memakai, mempertanggungjawabkan penggunaan dana, dan melaporkan dana secara intensif. Untuk pengawasan itu sendiri dibutuhkan anggaran," ujarnya.
Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi Rahmad Derita menambahkan, pengawasan menjadi sangat penting. Hal ini mengingat pengetahuan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang menjadi sumber utama menggratiskan pendidikan menjadi dominasi kepala sekolah, sedangkan guru dan pengawas belum terlibat.
Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mengatakan, batasan pendidikan gratis mengikuti peraturan pemerintah tentang pendanaan pendidikan yang terdiri dari biaya investasi, operasional, dan personal. Pemerintah menyediakan dana untuk biaya investasi lahan, sarana, dan prasarana pendidikan dasar yang diselenggarakan pemerintah. Biaya satuan BOS termasuk BOS Buku per siswa per tahun mulai Januari 2009 naik. Untuk SD di kota diberikan Rp 400.000, SD di kabupaten Rp 397.000, SMP di kota Rp 575.000, dan SMP di kabupaten Rp 570.000.
"Belum semua biaya ditanggung pemerintah. Bahkan, buku pelajaran juga belum sepenuhnya tercakup dalam biaya operasional sekolah, ujarnya." Pemerintah daerah wajib memenuhi kekurangan biaya operasional dari APBD apabila BOS dari Depdiknas belum mencukupi. Dia menambahkan, masih ada biaya yang sulit dicakup oleh BOS seperti ekstrakurikuler atau darmawisata dan berada di wilayah abu-abu. Untuk itu, Menteri berharap pemerintah melalui peraturan daerah dapat menegaskan kembali pos-pos komponen tersebut sehingga menjadi lebih jelas.

F. Pendidikan Gratis di Kabupaten Boyolali
Wacana dan implementasi BOS sebagai upaya pemerintah menggratiskan biaya pendidikan, nampaknya belum sepenuhnya bergayung bersambut. Jika ada beberapa Kabupaten dan Kota yang berkomitmen untuk memberikan yang terbaik bagi investasi masa depan anak bangsanya dengan membuat Peraturan Daerah yang pro pendidikan gratis, seyogyanya hal itu terjadi juga di Kabupaten Boyolali.
Semua stakehoulder pendidikan diharapkan duduk bersama membuat rumusan yang tepat bagi pendidikan gratis di Kabupaten Boyolali. Pemerintah Kabupaten, Dewan Perwakilan Rakyat, Masyarakat Pendidikan dan Sekolah, Dewan Pendidikan serta komunitas pengusaha baik lokal maupun nasional perlu segera melahirkan forum bersama yang cerdas, penuh gagasan cemerlang dan implementatif bagi pendidikan di Kabupaten Boyolali. Semua anak bangsa menunggu hal tersebut dan bergairah menyambutnya sebagai angin segar bagi masa depan mereka.




Biodata Penulis
Nama : S. Kristiyanto, S.Pd
NIP : 19690314 199412 1 003
Unit Kerja : SMA Negeri 1 Ngemplak
Tugas Tambahan : 1. Ketua 2 Tim Rintisan Sekolah Kriteria Mandiri SMA N 1
Ngemplak (2008 - sekarang)
2. Guru Pemandu Kimia MGMP Jawa Tengah (2008 – sekarang)
3. Pengurus MGMP Kimia SMA Kabupaten Boyolali (Bidang
Pemberdayaan Akademik)
4. Dosen Biokimia Akper Pantikosala Surakarta (1998 –
sekarang)

Daftar Pustaka

Muhlis, Imam, 2004, Mengkritisi Pendidikan Dasar Gratis: Social and Philosophical Studies [SöPHIS] UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Dananjaya, Utomo, 2005: Pendidikan Gratis, Kompas 28 Maret 2005, Jakarta

Permanasari, Indira, 2005: Pendidikan Dasar Gratis Sudah Saatnya Diberlakukan. www.guru@indonesia.co.id

Tidak ada komentar: