Selasa, 02 Desember 2008

Menengok kembali masa awal pengabdian

Tahun 1994, kala itu banyak sekali didirikan sekolah-sekolah negeri baru oleh pemerintah. Hal itu menyebabkan  terpenuhinya kebutuhan guru-guru semakin meningkat. Saya kebetulan lulus sebagai alumni penerima beasiswa ikatan dinas. Maksud hati memenuhi gejolak petualangan, hengkang dari zona nyaman, melintas ke luar pulau. Waktu ada rekomendasi dari sebuah universitas negeri di Kupang untuk mengajar program kimia. Saya sangat antusias menyambutnya, minimal Kupang itu sangat dekat Australia, siapa tahu bisa melancong ke sana. Ketika tiba saatnya menerima SK dari Pemerintah, saya sudah pasrah kalau kemungkinan ke Kupang  sangat tipis, Dirjen Dikti waktu itu Bambang Suhendro mengatakan semua alumni ikatan dinas harus mengisi mengisi kekosongan guru di sekolah-sekolah baru.
1 Desember 1994 adalah TMT bagi saya untuk mengajar di sebuah sekolah yang tidak pernah saya bayangkan lokasinya. SMA Negeri 1 Andong Boyolali. Wilayah itu belum pernah terlintas di pikiran saya. Setahu saya Boyolali itu yang dari Solo ke barat menuju Semarang. Namun Andong adalah sebuah kecamatan di  timur utara Boyolali. Sebuah ranah yang gersang di musim panas, becek karena lempung di musim hujan.
Saya sangat cepat beradaptasi dengan sekolah baru. Walaupun ini adalah sekolah dimana saya pertama kali menjadi guru. Pengalaman pertama jadi guru beneran ya di SMA Negeri 1 Andong ini. Saya menikmatinya sebagai ungkapan syukur (walau kadang agak protes sedikit, tidak jadi ke Kupang yang dekat Australia itu). Saya menjalani hari-hari melajo naik bus 30 KM jauhnya dari Solo. Dasar saya senang dolan, maka naik bis saya anggap sebuah acara dolan. Saya baru terima gaji bulan maret (4 bulan setelah saya kerja). 80% dari gaji saya golongan III a CPNS adalah Rp. 100.000,-. Sebuah jumlah yang ternyata mampu membuat saya bahagia, karena saya tidak punya pembanding dengan gaji di tempat lain, karena memang itulah gaji pertama saya bekerja.
SMA Negeri 1 Andong membuat warna yang indah dalam hidup pengabdian saya sebagai guru. Sekolah yang mewah, mevet sawah itu adalah sekolah pertama yang mengajari saya arti mengabdi kepada ibu pertiwi. Anak-anak yang sebagian besar masih saya ingat wajahnya (namanya banyak yang lupa) adalah anak-anak pedesaan yang sangat berhasrat maju, dan meraih masa depannya.
Adalah Parmo, remaja laki-laki kecil item, yang sangat kuat hasrat kimianya, berdiskusi intens tentang kehidupan dengan saya. Hasrat sekolahnya harus pupus, ketika dia harus berangkat ke Timor Timur berjualan mie ayam untuk menyambung hidup. Saya tidak tahu kabar dia sekarang ketika Timor Timur sudah menjadi luar negeri bagi kita. Ada juga Tomi (perempuan item manis dari seberang waduk Kedung Ombo), dia harus berjuang melawan air waduk untuk bisa sekolah. Hidupnya dipenuhi dengan cerita-cerita mistik yang menggenangi tradisinya. Saya sempat beberapa bulan menyokong SPPnya, dan itu sebuah prestasi saya di tengah-tengah gaji yang sangat kecil itu. Di mana kamu Tomi sekarang, saya akan coba mencari tahu.
Kalau ada yang tahu Parmo atau Tomi, tolong sampaikan kepada saya. Dia dua anak diantara banyak yang lainya, yang mampu membuat saya mengenang sentimentilnya perjuangan di SMA Negeri 1 Andong.